Senin, 07 Februari 2011

Misteri 9.11

0

Masih ingat peristiwa 11 September 2001? Menara kembar World Center (WTC) New York, Amerika Serikat, runtuh. Simbol kemajuan ekonomi negara adikuasa itu luluh lantak dalam hitungan menit, beberapa saat setelah ditabrak pesawat sipil yang konon dibajak teroris. Ada satu hal penting yang kini terus menjadi misteri. Yakni siapa dalang dalam peristiwa itu?Benarkah Usamah Bin Ladin dan jaringan Al-Qaidah? Atau justru AS sendiri?
Nama USAMAH BIN LADIN, dan jaringan Al-Qaidah langsung dituding oleh Presiden AS, George W Bush, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas peristiwa 9.11. Pemerintah berbagai Negara-termasuk Negara Islam-bak dikomando oleh satu “kekuatan besar” mengamini tudingan itu.

Namun disela koor tuduhan itu, ada beberapa pengamat dan kalangan ahli yang tak mau begitu saja percaya dengan tudingan Bush. Mereka justru punya hipotesis bahwa ada rencana besar di balik semua itu.

Mathias Brockers dalam bukunya Konspirasi, Teori-teori Konspirasi dan Rahasia 9.11, menulis, “ Mengapa menara kembar WTC masih belum ambruk, tetapi teori “ Bin Ladin” telah dimunculkan? Padahal, Usamah tak lain adalah sahabat karib CIA (dinas intelegen AS), sepupu mitra usaha Bush, Salim Bin Ladin, yang pernah digembleng AS di Afghanistan untuk melawan Uni Soviet.”

Sementara orientalis yang juga Direktur Orient Institut Jerman, Udo Steinbach, kepada Spiegel online (22 Februari 2002) menyatakan bahwa sangat meragukan bila insiden 9.11 dilakukan olehs seorang Muslim. Analisis menarik dilontarkan oleh Suriptto, Ketua Dewan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lespersi). Menurut pengamatan Intelegen ini, Bush memiliki rencana jangka pendek, menengah, dan panjang, atas peristiwa 9.11.

Seperti dikutip oleh Jerry d Gray dalam buku (9-11) The real truth, tujuan jangka pendek itu adalah, pertama membangkitkan kebencian rakyat AS terhadap Islam yang diberi label “teroris”. Kedua, membangun opini global tentang adanya musuh bersama yang harus diperangi. Ini terlihat jelas pada pidato Bush beberapa saat setelah peristiwa 9.11, “ If you are not with us, you against us” (jika anda tidak bersama kami, maka anda berhadapan dengan kami).

Sedangkan sasaran jangka menengah Bush adalah menguasai Afghanistan (2001) dan Iraq (2003).Afghanistan diserang dengan alas an Usamah bin Ladin bersembunyi dan dilindungi oleh pemerintah Taliban. Iraq juga diserbu, selain karena tudingan bahwa Sadam Husein menyembunyikan senjata pemusnah masal-yang tak terbukti sampai sekarang- juga karena Sadam dituduh melindungi jaringan Al-Qaidah di Iraq. Di balik sasaran jangka menengah itu, ada keinginan keluarga Bush, Dick Cheney (Wakil Presiden AS), dan penasihat keamanan Condollezza Rice (penasehat keamanan, kini menteri LN AS), untuk meraup uang dari “emas hitam” (minyak bumi)di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah.

“Berkat” invasi AS ke Afghanistan, keluarga Bush memiliki saham di perusahaan minyak Unocal bakal memperoleh keuntungan milyaran dolar AS. Salah satunya dengan membangun proyek pembangunan pipa minyak bersama Carlyle Corporation. Invasi AS ke Iraq membuat Bush dan Chaney-yang menguasai saham di perusahaan Halliburton-memperoleh keuntungan sebesar USD 3,9 milyar. Keduanya juga mendapat USD 2 milyar untuk proyek pembangunan kembali Iraq. Sementara Halliburton memenangkan kontrak sector perminyakan sebesar USD 8 milyar (2003).

Bersamaan dengan itu, menurut pakar dinas rahasia dan pengelola majalah Intelegence Online, Jean Charles Brisard dan Guillaume Dasquie, AS sebenarnya sangat ingin membangun jalan masuk ke cadangan minyak Asia Tengah : Turkmenistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, lewat Afghanistan dan Pakistan, terus ke Samudra Hindia. Selama ini, cadangan minyak Asia Tengah dikuasai Rusia. Pemerintah Bush ingin mengubah semua itu.

Masih menurut Supripto, pihak yang paling diuntungkan dari tragedi 9.11 adalah trio Bush-Cheney-Rice. Selain menyergap berbagai proyek di atas, mereka juga memperoleh milyaran dolar AS dari pembelian ribuan saham United Airline dan American Airline, transaksi keuangan elektronik dengan total nilai lebih dari USD 100 juta melalui WTC. Lalu apa rencana jangka panjang Bush? Setelah berakhirnya era perang dingin, AS kini berada dalam posisi selaku hegemoni tunggal. Cuma ada satu entitas bukan Negara yang masih mengancam hegemoni AS. Dan entitas ini sulit dikendalikan secara utuh. Itulah blok muslim.

Maka untuk mengukuhkan hegemoninya, AS membangun system politik, ekonomi, dan militer (pertahanan dan keamanan) yang harus ditaati oleh semua Negara. Itulah sebabnya mereka merancang scenario guna menaklukkan entitas yang sulit dikendalikan itu.

Skenario ala AS dan Bush bukan sekali ini saja dilakukan. Ingat tragedy Pearl Harbour? Serangan “tiba-tiba” tentara Jepang ke pangkalan laut AS pada akhir tahun 1930-an tersebut, kata Brockers, tak lain adalah bagian dari konspirasi Presiden Roosevelt. Dengan adanya peristiwa itu, terjadilah kemudian tragedy Hiroshima Nagasaki.
Misteri ini baru terungkap setelah status rahasia berkas-berkasnya dicabut 50 tahun kemudian. Ternyata Washington sebenarnya telah mengetahui secara pasti rencana penyerangan tersebut. Mereka seharusnya bisa mencegah, namun justru mendiamkannya. Akibatnya, public AS marah kepada Jepang.

Hal serupa terjadi dengan Hitler. Kakek Bush, konglomerat bank, Prescott Bush, telah membantu aksi pimpinan Nazi Jerman itu lewat persenjataan, kemudian menyingkirkannya, dan dengan tenang menata kembali Eropa. Juga “sandiwara” AS saat perang teluk melawan Saddam Husein, sesungguhnya berjalan dengan pola yang sama. Mulanya Saddam “dibesarkan” untuk melawan Iran. Setelah berhasil, Saddam dilucuti dengan paksa dan diusir dari negaranya sendiri.

Semua itu adalah konspirasi. Begitu rapinya scenario itu, sampai-sampai para pelaku “sandiwara”-nya tak mengetahui bahwa ia sebenarnya Cuma “korban dari konspirasi.”

0 komentar:

Posting Komentar